Kriteria Pasangan Saya..Hmm..Orangnya Harus...?
Percakapan tiga orang akhwat (wanita muslimah)
A : “Ukht, tau ngga? Mbak M ahad ini akan menikah lho dengan Pak ketua kita”
(Mereka bertiga tertawa) Lalu percakapan terus berlanjut :
A : “Kalau anti emang apa aja kriteria calon suaminya?”
Lalu A dan B melirik C, tanda bahwa pertanyaan tertuju pada ukhti C :
(Gubraks, C terkejut diberondong pertanyaan sebegitu banyaknya) Lalu dengan sederhana ia menjawabnya :
A dan B pun ber oooo ria, mengiyakan, walaupun dalam hati mereka tetap masih sulit menerima hal seperti itu. Tetapi akhirnya mereka hanya tertawa saja karena pembicaraan ini.
Di rumah yang lain
Percakapan antara tiga orang ikhwan (lelaki muslim)
Akhi F terbengong
F dan G mengaminkan, lalu mereka bertiga pun tertawa.
Dan suatu hari, A, B, E, dan G di tempat yang berbeda, mereka menerima sepucuk undangan merah jambu, wangi, dan indah. Mereka melihat nama yang tertera di sana adalah nama yang mereka kenal. Mereka bertasbih, nama itu C dan F. Subhanallah. Rahasia Allahlah segala yang ada di langit dan bumi.
***
Kisah di atas mungkin seringkali kita dapati dalam kehidupan kita sehari-hari. Bagaimana kriteria calon istri maupun calon suami yang ideal. Keinginan-keinginan dan harapan-harapan yang terkadang kurang substansial menjadi bagian dalam kriteria hidup kita. Memiliki wajah yang tampan, ilmu yang luas, punya penghasilan yang lumayan, dan sebagainya menjadi kriteria utama yang ditetapkan untuk menilai seseorang dalam pernikahan. Walaupun mungkin di antaranya itu menunjang kehidupan kita, namun tidak selamanya materi maupun fisik menjadi satu-satunya syarat dalam pernikahan. Keshalihan dan agama adalah hal yang penting. Jika seseorang shalih, maka semua itu akan berada di belakangnya. Bukankah Allah telah menggambarkan di dalam al-quran :
“Dan kawinkanlah orang-orang yang sedirian diantara kamu, dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. Jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan kurnia-Nya. Dan Allah Maha luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui” (QS. An-nuur : 32)
Jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan karunia-Nya. Bukankah rizki itu sudah diatur Allah? Banyak kenyataan yang terjadi, bahwa ketika seseorang belum memiliki penghasilan yang mapan, setelah menikah kemudian pintu rizkinya semakin dibukakan Allah. Seperti kisah seorang sahabat yang mengadu kepada Rasulullah saw tentang kemiskinannya. Lalu Rasulullah saw menganjurkannya untuk menikah, hingga ia menikahi istri keempat dan barulah ia kemudian menjadi kaya.
Tetapi terkait dengan keshalihan, Hasan Al-Banna menjelaskan tentang karakter seorang muslim yang tangguh di antaranya adalah mandiri dalam perekonomian, memiliki wawasan yang luas, teratur dalam urusannya, ibadah yang shahih, akhlakul karimah, akidah yang bersih, jasmani yang kuat, jiwanya yang bersungguh-sungguh, efisien dalam waktu, dan bermanfaat bagi orang lain. Nah, ketika keshalihan sudah menancap kuat, seharusnya memang muwashofat ini menjadi karakter yang mendalam di diri setiap muslim dan muslimah. Sehingga ketika menilai seseorang maka yang langsung diucapkan adalah shalih, karena memang ketika seseorang shalih, maka 10 muwashofat itu telah ada dalam dirinya.
Pertanyaannya sekarang adalah apakah muwashofat itu sudah tertanam di dalam diri kita? Maka tak heran ketika kita ingin memilih seorang calon pendamping, maka hal-hal seperti di dalam cerita di atas itulah yang terbersit. Namun saya yakin, dan sangat yakin sekali, bahwa masih jauh lebih banyak mereka-mereka yang tidak memandang seseorang karena fisik atau materinya saja. Saya pun yakin, bahwa dalam hidup memang dibutuhkan suatu masa ketika fisik dan materi menjadi salah satu pendukung dalam sebuah pernikahan. Namun hal itu bukanlah sesuatu yang mutlak, sehingga kita menjadi orang-orang yang mendewakan fisik dan materi saja.
Kalau kata Aa Gym dalam rumus 3 M nya, Mulai dari diri sendiri, mulai dari yang kecil dan mulai dari saat ini, maka kita sebagai muslim dan muslimah sebaiknya memang memulai dari sekarang untuk senantiasa memperbaiki diri dan meningkatkan kualitas diri, agar kelak kita menjadi pribadi-pribadi muslim yang tangguh. Sehingga tidak berfikir panjang lagi tentang suatu pernikahan, ketika yang ada hanyalah keshalihan, dan tidak perlu lagi mengucapkan “Hmm…orangnya harus..bla bla bla….”
Namun satu hal lagi yang harus diingat, bahwa ketika kita meningkatkan kualitas diri, tentunya kita meniatkannya karena Allah semata, bukan karena laki-laki atau wanita yang ingin kita nikahi. Dalam hadist arba’in yang pertama dikatakan
“Sesungguhnya amal perbuatan itu tergantung pada niatnya, dan sesungguhnya bagi setiap orang apa yang ia niatkan. Barangsiapa hijrahnya menuju Allah dan RasulNya, ia akan sampai kepada Allah dan RasulNya. Barangsiapa hijrahnya menuju dunia yang akan diperolehnya, atau menuju wanita yang akan dinikahinya, ia akan mendapatkan apa yang dituju” (Bukhari dan Muslim)
Jadi, ketika kita memperbaiki diri karena laki-laki atau wanita yang ingin kita nikahi maka kita hanya akan mendapatkan itu, sementara Allah tidak kita dapatkan. Namun ketika kita meniatkan semuanya karena Allah, maka bumi dan seluruh isinya akan mengikuti kita, dan Allah akan memberikan yang terbaik kepada hamba-hambaNya yang bertaqwa. Amin.
NB : Tiba-tiba saja muncul ide di kepala untuk menulis tentang topik ini, walaupun sebenarnya saya belum siap untuk membahas soal ini. Karena saya tahu, kita semua mungkin butuh banyak belajar dan menyadari kesalahan diri kita. Mungkin di dalam diri saya, anda, atau siapapun masih terbersit hal-hal yang seharusnya sesuai dengan yang kita harapkan. Namun suatu harapan atau keinginan yang terlalu berlebihan tidak boleh menjadi dominasi dalam hati kita sehingga suatu saat kelak akan menjadi sebuah tuntutan yang harus dipenuhi. Ketika kita terlalu banyak menuntut, maka hanya ada kekecewaan yang timbul dan akan mempengaruhi keimanan kita. So, the first thing is al-iman.
0 Comments:
Post a Comment
<< Home