Perasaan, harapan, dan ibrah Atas Nikmat-Nya Kuberbagi Hikmah: Kriteria Pasangan Saya..Hmm..Orangnya Harus...? div.fullpost {display:inline;}

glitter-graphics.com

Thursday, July 20, 2006

Kriteria Pasangan Saya..Hmm..Orangnya Harus...?


Kriteria Pasangan Saya..Hmm..Orangnya Harus...?
Di suatu rumah
Percakapan tiga orang akhwat (wanita muslimah)
A : “Ukht, tau ngga? Mbak M ahad ini akan menikah lho dengan Pak ketua kita”
B : “Masa sih? Subhanallah, beruntung sekali mbak itu ya. Duh, padahal pak ketua kita itu kan tipe ikhwan dan calon suami idaman yang menjadi dambaan setiap akhwat. Hiks, keduluan deh.
C : “Huss, udah ah, jangan membicarakan orang lain, ntar kita jadi ghibah ukht”
A : “Astahgfirullah…”
B : “Afwan ukht, ana khilaf. Hmm, daripada kita ghibah mending kita bicarain soal karakter calon suami aja. Kira-kira kalau anti, tipe calon suami idamannya seperti apa sih?”
A : Hmm…kalau ana sih ngga banyak-banyak amat, yang penting orangnya baik, sholeh, rajin, romantis, wajahnya juga lumayan lah, pintar dan harus mahir bahasa Inggris ama bahasa Arab, ilmu dan wawasannya luas, trus dia juga punya penghasilan yang tetap.”
C : “MasyaAllah, itu bukan sedikit namanya ukht, tapi bejubel wee.”
(Mereka bertiga tertawa) Lalu percakapan terus berlanjut :
A : “Kalau anti emang apa aja kriteria calon suaminya?”
B : “Kalau ana sih yang penting shalih dan dia sayang dengan kita. Trus ya hampir sama dengan anti, punya penghasilan tetap, soalnya kalau ngga jelas nanti mau dikasih makan apa keluarganya? Udah itu, dia juga harus perhatian, aktivis dakwah gitu deh biar nyambung sama ana, orangnya harus punya ilmu dan wawasan yang luas. Soal wajah, ana sih ngga begitu persoalan, yang penting normal lah.
Lalu A dan B melirik C, tanda bahwa pertanyaan tertuju pada ukhti C :
C : “Iya, iya, ana jawab. Kalau ana sih ngga rumit-rumit seperti antuna, cukup shalih dan memiliki orientasi dakwah ilallah.”
A : “Hah?? (mimik terkejut). Hanya itu C? Ah jangan bercanda anti, masa cuma itu?”
B : “Iya nih, masa gitu doang. Trus kalo dia udah seperti itu, eh ternyata dia ngga punya penghasilan tetap, dia cacat, atau lebih muda atau jauh lebih tua daripada anti, anti mau juga?”
A : “Iya tuh, gimana coba kalau seandainya dia udah menikah, anti jadi istri kedua, anti mau juga?”
(Gubraks, C terkejut diberondong pertanyaan sebegitu banyaknya) Lalu dengan sederhana ia menjawabnya :
C : “Kalau semua orang berfikiran seperti antuna, melihat penghasilan, melihat tampang, melihat fisik, melihat yang lain-lain sebagai hal yang tidak substansial, maka kasihan sekali mereka-mereka yang fisiknya kurang baik, yang cacat, yang wajahnya pas-pasan, atau yang belum berpenghasilan tetap. Bisa-bisa mereka ngga bakal menikah-menikah dong?” (C malah tertawa)
A dan B pun ber oooo ria, mengiyakan, walaupun dalam hati mereka tetap masih sulit menerima hal seperti itu. Tetapi akhirnya mereka hanya tertawa saja karena pembicaraan ini.
Di rumah yang lain

Percakapan antara tiga orang ikhwan (lelaki muslim)
E : “Akhi, antum kenapa belum menikah juga sampai sekarang? Padahal umur udah ok, penghasilan udah lumayan, tampang pun tak ada yang kurang. Kenapa? Gak ada yang mau sama antum apa? Ntar ana carikan, banyak tuh akhwat yang udah menunggu.”
F : “Hehe, antum bisa aja, bukan begitu akh. Ya antum tau sendiri lah, akhwat kan sekarang banyak yang milih-milih juga, mana ada yang mau sama ana. Antum kan tau kaki ana cacat.”
G : “Cacat ngganya antum, ngga ada hubungan dengan pernikahan. Masih banyak kok akhwat yang ngga hanya menilai fisik saja. Kalau ana sih kriteria calon istri idaman ana hmm..orangnya harus cantik, putih, sholehah, trus ya harus bisa jadi istri yang sempurna. Pinter masak, pinter jahit, pinter mijet (emang tukang pijet), pinter ngurus rumah, dll, jangan keluar rumah aja kerjanya, bisa-bisa ana ntar ngga keurus.”

Akhi F terbengong
F : “Banyak amat kriterianya. Sama aja berarti antum menilai fisik. Emang ada akhwat yang sempurna? Kita aja yang ikhwan ngga ada yang sempurna kan? Kalau mencari calon pendamping itu jangan lihat dari segi yang tidak substansial akh, yang paling penting adalah bagaimana kita menikahi orang yang berpandangan bahwa menikah itu adalah ibadah dan dalam rangka dakwah. Bukankah rasulullah saw bersabda bahwa jika ingin memilih calon pendamping maka lihatlah dari wajah, harta, keluarga, dan jika semua itu tidak ada maka lihatlah keshalihannya. Dan shalih adalah sebaik-baik pertimbangan. Gitu akh, antum belum dapat materi tentang nikah apa? Hehe..”
G : “Ya kalau begitu keempat-empatnya deh ana mau banget. Udah cantik, kaya, dari keluarga baik-baik, trus sholehah lagi. Wah, kalah deh bidadari, mereka bakal cemburu kalau lihat ana ama istri yang seperti itu.”E : “Antum ada-ada saja G. Ya berdoa sajalah mudah-mudahan kita diberi Allah pilihan yang terbaik. Amin.

F dan G mengaminkan, lalu mereka bertiga pun tertawa.
Dan suatu hari, A, B, E, dan G di tempat yang berbeda, mereka menerima sepucuk undangan merah jambu, wangi, dan indah. Mereka melihat nama yang tertera di sana adalah nama yang mereka kenal. Mereka bertasbih, nama itu C dan F. Subhanallah. Rahasia Allahlah segala yang ada di langit dan bumi.
***
Kisah di atas mungkin seringkali kita dapati dalam kehidupan kita sehari-hari. Bagaimana kriteria calon istri maupun calon suami yang ideal. Keinginan-keinginan dan harapan-harapan yang terkadang kurang substansial menjadi bagian dalam kriteria hidup kita. Memiliki wajah yang tampan, ilmu yang luas, punya penghasilan yang lumayan, dan sebagainya menjadi kriteria utama yang ditetapkan untuk menilai seseorang dalam pernikahan. Walaupun mungkin di antaranya itu menunjang kehidupan kita, namun tidak selamanya materi maupun fisik menjadi satu-satunya syarat dalam pernikahan. Keshalihan dan agama adalah hal yang penting. Jika seseorang shalih, maka semua itu akan berada di belakangnya. Bukankah Allah telah menggambarkan di dalam al-quran :

Dan kawinkanlah orang-orang yang sedirian diantara kamu, dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. Jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan kurnia-Nya. Dan Allah Maha luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui” (QS. An-nuur : 32)

Jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan karunia-Nya. Bukankah rizki itu sudah diatur Allah? Banyak kenyataan yang terjadi, bahwa ketika seseorang belum memiliki penghasilan yang mapan, setelah menikah kemudian pintu rizkinya semakin dibukakan Allah. Seperti kisah seorang sahabat yang mengadu kepada Rasulullah saw tentang kemiskinannya. Lalu Rasulullah saw menganjurkannya untuk menikah, hingga ia menikahi istri keempat dan barulah ia kemudian menjadi kaya.

Tetapi terkait dengan keshalihan, Hasan Al-Banna menjelaskan tentang karakter seorang muslim yang tangguh di antaranya adalah mandiri dalam perekonomian, memiliki wawasan yang luas, teratur dalam urusannya, ibadah yang shahih, akhlakul karimah, akidah yang bersih, jasmani yang kuat, jiwanya yang bersungguh-sungguh, efisien dalam waktu, dan bermanfaat bagi orang lain. Nah, ketika keshalihan sudah menancap kuat, seharusnya memang muwashofat ini menjadi karakter yang mendalam di diri setiap muslim dan muslimah. Sehingga ketika menilai seseorang maka yang langsung diucapkan adalah shalih, karena memang ketika seseorang shalih, maka 10 muwashofat itu telah ada dalam dirinya.

Pertanyaannya sekarang adalah apakah muwashofat itu sudah tertanam di dalam diri kita? Maka tak heran ketika kita ingin memilih seorang calon pendamping, maka hal-hal seperti di dalam cerita di atas itulah yang terbersit. Namun saya yakin, dan sangat yakin sekali, bahwa masih jauh lebih banyak mereka-mereka yang tidak memandang seseorang karena fisik atau materinya saja. Saya pun yakin, bahwa dalam hidup memang dibutuhkan suatu masa ketika fisik dan materi menjadi salah satu pendukung dalam sebuah pernikahan. Namun hal itu bukanlah sesuatu yang mutlak, sehingga kita menjadi orang-orang yang mendewakan fisik dan materi saja.

Kalau kata Aa Gym dalam rumus 3 M nya, Mulai dari diri sendiri, mulai dari yang kecil dan mulai dari saat ini, maka kita sebagai muslim dan muslimah sebaiknya memang memulai dari sekarang untuk senantiasa memperbaiki diri dan meningkatkan kualitas diri, agar kelak kita menjadi pribadi-pribadi muslim yang tangguh. Sehingga tidak berfikir panjang lagi tentang suatu pernikahan, ketika yang ada hanyalah keshalihan, dan tidak perlu lagi mengucapkan “Hmm…orangnya harus..bla bla bla….”
Namun satu hal lagi yang harus diingat, bahwa ketika kita meningkatkan kualitas diri, tentunya kita meniatkannya karena Allah semata, bukan karena laki-laki atau wanita yang ingin kita nikahi. Dalam hadist arba’in yang pertama dikatakan
“Sesungguhnya amal perbuatan itu tergantung pada niatnya, dan sesungguhnya bagi setiap orang apa yang ia niatkan. Barangsiapa hijrahnya menuju Allah dan RasulNya, ia akan sampai kepada Allah dan RasulNya. Barangsiapa hijrahnya menuju dunia yang akan diperolehnya, atau menuju wanita yang akan dinikahinya, ia akan mendapatkan apa yang dituju” (Bukhari dan Muslim)

Jadi, ketika kita memperbaiki diri karena laki-laki atau wanita yang ingin kita nikahi maka kita hanya akan mendapatkan itu, sementara Allah tidak kita dapatkan. Namun ketika kita meniatkan semuanya karena Allah, maka bumi dan seluruh isinya akan mengikuti kita, dan Allah akan memberikan yang terbaik kepada hamba-hambaNya yang bertaqwa. Amin.

NB : Tiba-tiba saja muncul ide di kepala untuk menulis tentang topik ini, walaupun sebenarnya saya belum siap untuk membahas soal ini. Karena saya tahu, kita semua mungkin butuh banyak belajar dan menyadari kesalahan diri kita. Mungkin di dalam diri saya, anda, atau siapapun masih terbersit hal-hal yang seharusnya sesuai dengan yang kita harapkan. Namun suatu harapan atau keinginan yang terlalu berlebihan tidak boleh menjadi dominasi dalam hati kita sehingga suatu saat kelak akan menjadi sebuah tuntutan yang harus dipenuhi. Ketika kita terlalu banyak menuntut, maka hanya ada kekecewaan yang timbul dan akan mempengaruhi keimanan kita. So, the first thing is al-iman.
Created by : hanan2jahid. 120506.

0 Comments:

Post a Comment

<< Home

World Web DirectoryFree Hit Counter

Free shoutbox @ ShoutMix

. Istri yang sukses adalah istri yang bisa memasuki hati suami dan menjadi teman setia; tidak untuk mencuri hidup suami, tetapi intuk memperoleh kepercayaannya. Dia harus memperlakukan suami dengan lembut dan memaafkannya persis seperti ketika memaafkan teman dekat. Istri yang sukses tidak akan membebani pasangan dengan banyak menuntut agar suami terus menemaninya. Ia tidak memperlakukan suaminya dengan sikap menantang atau mengajak duel, tetapi adalah istri yang selalu membuat suami merasa sebagai kepala rumah tangga dan memiliki keputusan yang harus ditaati.. (...Nagla Mahfudz_Mengalah untuk menang) Free  music code  indo ~ www.musik-live.net

Free Mp3 Music Player

Free Mp3 Music Player at www.musik-live.net